Bellarmino Danang

Trending

Strategi atau Substansi? PSI, Kaesang Pangarep, dan Tantangan Mendongkrak Elektabilitas di Era Milenial

kaesang

Di tengah dinamika politik yang bergolak dan terus berkembang di Indonesia, munculnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menandai era baru yang mungkin bisa disebut sebagai transformasi dalam dunia politik, khususnya dalam hal strategi pemasaran politik dan branding. Kaesang, yang dikenal luas sebagai sosok muda yang kreatif, entrepreneur sukses, dan aktif di media sosial, menghadirkan harapan baru bagi PSI untuk menarik perhatian pemilih muda. Namun, apakah kehadiran Kaesang hanyalah taktik pemasaran cerdik, ataukah menandakan sebuah visi politik yang jauh lebih dalam dan keinginan nyata untuk membawa perubahan substansial? Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam mengenai fenomena ini, menganalisis implikasinya, serta mencoba memahami apakah langkah ini merupakan strategi jitu PSI atau hanya langkah oportunis yang bisa menjadi bumerang bagi partai itu sendiri dari perspektif pemasaran politik saya sebagai penulis.

Kaesang: Strategi Cerdik atau Kepentingan Semu?

Sebagai latar belakang, Pemilu 2024 di Indonesia menandai suatu titik balik signifikan dalam demografi pemilih. Dari total 205 juta pemilih yang terdaftar, generasi milenial dan generasi Z mencakup sekitar 116 juta pemilih, mendominasi lebih dari separuh jumlah total pemilih. Faktanya, KPU memprediksi bahwa 60% dari seluruh pemilih pada Pemilu 2024 merupakan generasi muda, termasuk sebagian dari generasi X yang masih bisa dimasukkan ke dalam kategori muda.

Dalam konteks ini, keputusan PSI menunjuk Kaesang Pangarep sebagai ketua umum mereka memunculkan pertanyaan kritis: apakah ini merupakan strategi jitu untuk menarik hati mayoritas pemilih muda ataukah sekadar langkah oportunis tanpa visi politik yang jelas? Kaesang, dengan daya tarik dan magnetismenya di kalangan anak muda, tanpa diragukan merupakan aset bagi PSI. Namun, apakah karisma dan popularitas semacam itu cukup untuk menggaet suara 116 juta pemilih muda?

Sejumlah kritikus menilai bahwa PSI, dalam menunjuk Kaesang, mungkin telah jatuh ke dalam perangkap pemasaran semata, mengedepankan popularitas daripada substansi politik. Memang, Kaesang mampu menarik perhatian, namun apakah perhatian tersebut akan berujung pada kepercayaan politik yang nyata? Ataukah ini hanyalah bentuk “pemberian permen” kepada generasi muda, tanpa visi dan misi konkret yang mampu menyelesaikan persoalan nyata yang dihadapi oleh generasi tersebut?

Lebih jauh lagi, apakah PSI benar-benar memahami apa yang diinginkan oleh generasi muda, ataukah mereka hanya melihat angka-angka demografis dan memutuskan untuk memilih wajah yang populer sebagai andalan mereka? Jika itu yang terjadi, strategi semacam itu bisa menjadi bumerang bagi PSI. Sebab, generasi muda bukan hanya sekumpulan individu yang mudah terbuai oleh popularitas, melainkan pemilih kritis yang mencari solusi atas tantangan yang mereka hadapi.

Dalam menghadapi Pemilu 2024, PSI dan partai lainnya harus memahami satu hal: generasi muda bukan hanya angka demografis yang perlu diperjuangkan, tetapi juga pemilih yang cerdas, kritis, dan membutuhkan solusi nyata. Apakah Kaesang Pangarep dan PSI siap memberikan jawaban atas tantangan tersebut? Hanya waktu yang akan menjawab.

kaesang PSI

Branding: Popularitas Sebagai Bayang-bayang Kredibilitas?

PSI, yang sejak awal memposisikan diri sebagai suara generasi muda, kini berada di persimpangan jalan kritikal: menimbang antara popularitas dan kredibilitas. Memilih Kaesang sebagai wajah partai mungkin memberikan efek awal yang “gemerlap” bagi PSI, namun popularitas semacam itu apakah cukup untuk membangun kredibilitas jangka panjang? Di balik gemerlap popularitas, terdapat pertanyaan fundamental: apa yang telah dilakukan Kaesang dan PSI untuk menunjukkan kredibilitas mereka sebagai pemimpin politik? Sebagai partai “kecil”, PSI mungkin merasa terdesak untuk menunjukkan eksistensinya. Namun, eksistensi tanpa substansi adalah sebuah kerentanan. Apakah Kaesang, dengan segala prestasinya di ranah bisnis, mampu memperlihatkan portofolio politik yang sama positifnya?

Asosiasi Brand PSI: Keuntungan atau Kerugian?

Memutuskan untuk berkolaborasi dengan sosok kontroversial seperti Kaesang membawa konsekuensi bagi brand PSI. Di dunia bisnis dan media, Kaesang mungkin dikenal dengan gaya komunikasinya yang spontan dan terkadang provokatif. Namun, dunia politik membutuhkan lebih dari sekadar gaya – dibutuhkan strategi, diplomasi, dan keseriusan. Dengan mengasosiasikan diri dengan Kaesang, PSI mungkin memperoleh sorotan media, namun apakah sorotan tersebut membangun citra positif atau justru menimbulkan keraguan? Berpartai bukanlah bisnis atau showbiz; ada tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar. Dalam menimbang asosiasi dengan Kaesang, PSI harus bertanya: Apakah keberadaan Kaesang memperkuat citra PSI sebagai partai yang serius dan kredibel, atau justru mengecilkan ruang bagi PSI untuk tumbuh sebagai entitas politik yang independen dan matang?

Narasi Konsisten vs Dinamika Generasi Muda

Ketika PSI memilih Kaesang sebagai Ketua Umum, mereka tak hanya memilih wajah popular, tetapi juga tantangan berat dalam memastikan narasi partai tetap konsisten. Kaesang, yang seringkali spontan dan blak-blakan, harus berhadapan dengan tuntutan politik yang memerlukan kebijaksanaan dan konsistensi. Ironisnya, meskipun narasi konsisten esensial, itu saja tidak cukup untuk menarik hati generasi muda yang dinamis, adaptif, responsif, dan kadang-kadang apatis. Mereka mencari partai yang tidak hanya berbicara, tapi bertindak dengan kreatifitas. Mereka ingin solusi konkret, bukan retorika. PSI dan Kaesang harus berinovasi, bukan hanya membangun narasi yang menarik, tetapi juga mengemasnya dengan cara yang kreatif, dinamis, dan sesuai dengan aspirasi kaum muda. Ketidakseimbangan antara spontanitas Kaesang dan kebutuhan narasi konsisten partai bisa menjadi jurang, namun juga bisa menjadi peluang, tergantung bagaimana PSI memainkan kartunya.

Kesimpulan: PSI telah mengambil keputusan strategis dalam mewadahi aspirasi politik generasi muda dengan menunjuk Kaesang Pangarep sebagai wajah partai. Dari sudut pandang pemasaran dan branding politik, langkah ini menjanjikan popularitas namun juga menghadirkan tantangan signifikan. Meski menarik bagi pemilih muda, keberhasilan PSI akan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengkombinasikan popularitas dengan substansi dan kredibilitas, bukan hanya mengandalkan karisma Kaesang semata.

Selanjutnya, dari sisi asosiasi brand, kolaborasi dengan Kaesang dapat memberikan sorotan bagi PSI, tetapi juga berpotensi membawa risiko reputasi. Dalam dunia politik yang kompleks, partai perlu memastikan bahwa kolaborasi ini meningkatkan citra mereka sebagai aktor politik serius dan bukan hanya taktik pemasaran jangka pendek.

Tulisan ini menawarkan pandangan tentang bagaimana branding berperan dalam pemasaran politik, khususnya terkait keputusan PSI memilih Kaesang. Sebagai catatan, tulisan ini merupakan perspektif kritis dari penulis tentang dinamika pemasaran politik di era digital, bukan posisi dukungan atau penolakan terhadap entitas politik tertentu. Gasssss..