Dalam hiruk-pikuk Debat Pilpres 2024, kita menyaksikan sebuah teater politik yang menggelitik: sebuah panggung di mana janji dan retorika menguap tanpa jejak. Para capres, dalam upaya mereka untuk memikat hati rakyat, sering kali terjebak dalam labirin kata-kata yang indah namun hampa makna. Pertarungan narasi di panggung debat ini lebih mencerminkan strategi branding daripada substansi kebijakan yang nyata.
Memulai dari Debat Pilpres 2024, yang seharusnya menjadi forum untuk mengeksplorasi visi dan rencana konkret para calon, kita malah menyaksikan pertunjukan yang mereduksi politik menjadi sekedar kompetisi popularitas. Isu-isu penting seperti korupsi, HAM, dan pelayanan publik hanya dijadikan peluru retorika tanpa diikuti dengan roadmap yang jelas. Dalam debat tersebut, Anies, Prabowo, dan Ganjar, masing-masing dengan gaya mereka, berlomba menyampaikan janji-janji yang berisiko tinggi menjadi sekedar lip service.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Sebagai contoh, ketika membahas isu korupsi, para capres cenderung mengambil posisi yang aman, menjanjikan penguatan KPK tanpa memberikan detail operasional yang konkret. Ini bukan hanya masalah kekurangan detail, tapi juga refleksi dari ketidakmampuan untuk memahami kompleksitas masalah korupsi itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, di mana korupsi telah mengakar dalam, respons yang dangkal seperti ini tidak hanya tidak memadai, tapi juga menyesatkan.
Selanjutnya, pembahasan tentang HAM, khususnya kasus Papua, dalam debat tersebut, menjadi contoh klasik bagaimana isu krusial dijadikan ajang pencitraan. Para capres menampilkan empati yang terkesan dipaksakan, sambil menghindari pembahasan tentang solusi yang realistis dan berkelanjutan. Ini tidak hanya menunjukkan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi masalah kompleks, tetapi juga ketidakjujuran dalam mengakui batas-batas kemampuan mereka.
Namun, yang menarik adalah bagaimana debat ini mencerminkan kurangnya progresivitas dalam solusi yang ditawarkan, tidak ada yang benar-benar mencerminkan pemikiran bahwa korupsi merupakan masalah mendasar. Ini menunjukkan bahwa branding politik yang ditampilkan terkadang hanya kulit luar yang tidak menyentuh substansi yang lebih dalam.
Pada debat tersebut, isu-isu krusial seperti kebebasan berpendapat dan demokrasi juga menjadi sorotan. Anies Baswedan mengkritik penurunan indeks demokrasi dan kebebasan berbicara, sementara Prabowo Subianto menanggapi dengan mengingatkan Anies tentang posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ini menunjukkan bagaimana isu-isu sensitif sering digunakan sebagai alat untuk menyerang lawan politik, bukan sebagai wadah diskusi konstruktif untuk mencari solusi.
Lebih jauh, debat ini juga menyoroti peran marketing politik dalam menyampaikan pesan kepada pemilih. Setiap capres berusaha menyampaikan citra yang positif dan meyakinkan kepada pemilih bahwa mereka adalah pilihan terbaik. Namun, apa yang sering terjadi adalah penggunaan taktik yang lebih bersifat reaktif daripada proaktif dalam menanggapi isu.
Kesimpulannya, debat Capres 2024 memberikan gambaran tentang bagaimana branding dan marketing politik berperan dalam kontestasi kekuasaan di Indonesia. Meskipun ada usaha untuk menampilkan citra positif, masih banyak kekurangan dalam hal substansi dan solusi konkret untuk isu-isu penting. Melalui Debat Pilpres 2024 ini, kita diberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana politik di Indonesia masih jauh dari harapan ideal demokrasi yang substansial. Daripada menjadi ajang untuk memperdalam diskusi tentang masa depan bangsa, debat tersebut lebih menjadi ajang pamer kekuatan retorika tanpa landasan yang kuat. Hal ini menunjukkan urgensi untuk mereformasi cara kita melakukan debat politik, agar lebih fokus pada substansi dan solusi nyata, bukan sekedar permainan kata.
Artikel ini merupakan refleksi kritis atas pesta demokrasi yang sedang berlangsung, bukan untuk memihak salah satu paslon capres dan cawapres 2024, melainkan untuk mendorong pemikiran yang lebih mendalam tentang pilihan kita di masa depan.