Jakarta, 13 Desember 2023 — Ketika tirai debat Pilpres 2024 terbuka, panggung disulap menjadi bursa janji politik. Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, dalam tarian retorika mereka, tidak sekadar berdebat; mereka juga mengejar narasi yang akan mengukir citra dalam benak pemilih. Apa yang kita saksikan bukanlah diskusi kebijakan yang kering, melainkan sebuah pameran pencitraan politik yang penuh kalkulasi.
Pencitraan Brand Politik: Lebih dari Sekadar Janji
Anies Baswedan tampil sebagai pembela dialog publik, menyuarakan penolakan terhadap pemindahan IKN dengan alasan kurangnya komunikasi publik. Di sisi lain, Prabowo Subianto berusaha menguatkan posisinya sebagai pelindung HAM, meskipun Ganjar Pranowo meragukan ketegasannya. Ganjar sendiri tidak tinggal diam, mengusung bendera perubahan dan berjanji akan membawa era baru pemerintahan yang bersih dan inklusif.

Perang Komunikasi dalam Pusaran Media Sosial
Dalam pertarungan modern untuk kekuasaan, setiap gestur dan ucap capres segera menjadi viral di media sosial, menciptakan narasi yang mendorong atau menyerang. Contoh paling jelas adalah ketika Twitter dipenuhi dengan analisis dan opini tentang debat, sementara Instagram dibanjiri dengan infografis dan klip video yang memotong dan memilih momen-momen yang paling dramatis untuk dikonsumsi massal. Ini bukan hanya soal menjangkau audiens yang lebih luas; ini tentang memanfaatkan algoritma media sosial untuk memaksimalkan pengaruh politik.
Antara Gaya dan Substansi
Selama debat, capres-cawapres mengepakkan sayap retorika mereka, menjanjikan perubahan dan pembaruan. Tapi di balik tabir janji-janji ini tersembunyi pertanyaan kritis tentang substansi. Janji untuk memerangi korupsi, misalnya, sering kali terdengar lebih seperti slogan daripada komitmen yang diterjemahkan ke dalam rencana aksi yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini adalah paradoks pemasaran politik modern: janji-janji yang dirancang untuk menarik suara sering kali kurang dalam hal strategi pelaksanaan.
Kesimpulan: Kewaspadaan dalam Pesta Demokrasi Digital
Debat perdana Pilpres 2024 menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan dalam era demokrasi digital. Sebagai pemilih, kita harus menggali lebih dalam dari sekadar apa yang disajikan di permukaan. Kita harus membedakan antara janji yang terbungkus rapi dalam strategi pemasaran politik dengan rencana yang memiliki kemampuan nyata untuk membawa perubahan. Artikel ini merupakan refleksi kritis atas pesta demokrasi yang sedang berlangsung, bukan untuk memihak, melainkan untuk mendorong pemikiran yang lebih mendalam tentang pilihan kita di masa depan.