Debat keempat Pilpres 2024, yang dihelat di Jakarta Convention Center pada tanggal 21 Januari 2024, bukan hanya menjadi ajang adu gagasan tetapi juga adu strategi dalam merebut hati pemilih. Sebuah fenomena menarik terjadi ketika Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2, menunjukkan sebuah pendekatan yang dianggap kurang simpatik oleh sebagian pengamat. Namun, apakah ini sekadar kekurangan Gibran dalam penampilan atau sebenarnya sebuah strategi pemasaran yang taktis dan terencana?
Mengambil Hati dengan Gimmick?
Menurut Ahmad Khoirul Umam (Dikutip dari Liputan6.com), Gibran tampaknya kehilangan momen empati dalam debat. Namun, dari perspektif pemasaran, apa yang terlihat sebagai kekurangan bisa jadi merupakan bagian dari strategi yang lebih besar. Adalah penting untuk memahami bahwa dalam pemasaran politik modern, setiap gerakan diukur untuk menarik segmen tertentu, mengambil hati terget dari pemilih.
Gimmick vs Substansi: Keseimbangan yang Hilang?
Cak Imin dan Anies Baswedan, dengan kritik mereka terhadap penggunaan gimmick, menekankan pentingnya substansi dalam debat. Mereka berargumen bahwa gimmick hanya akan menutupi kekurangan dalam pengetahuan dan visi. Namun, dalam era di mana perhatian pemilih terpecah, mungkinkah gimmick menjadi alat yang efektif untuk menarik perhatian dan menjelaskan konsep kompleks seperti greenflation?
Gimmick: Strategi atau Kegagalan?
Debat politik telah berubah menjadi lebih dari sekadar forum diskusi; mereka adalah kesempatan untuk branding. Menurut Adi Prayitno dikutip dari (kompas.tv) menyoroti bahwa debat cenderung kehilangan substansi karena gimmick. Namun, jika kita melihatnya sebagai bagian dari strategi branding, pertanyaan Gibran tentang Greenflation bisa diinterpretasikan sebagai usaha yang sangat cerdas untuk membingkai dirinya sebagai pemikir yang maju dan berwawasan luas.
Membangun Narasi yang Menarik.
Dalam pemasaran, menciptakan narasi yang menarik adalah segalanya. Mungkin bagi Gibran, narasi tersebut adalah membawa perubahan dan inovasi ke dalam cara kita mendiskusikan masalah nasional, meski dengan cara yang tidak konvensional. Kembali lagi ini cara Gibran. Apakah mungkin seorang Gibran tidak mengolah dan mensetting dengan cermat agenda besar (debat) ini?
Strategi Pemasaran yang Efektif atau Pertaruhan Berisiko?
Gimmick dalam debat mungkin menimbulkan kontroversi, tetapi juga bisa menjadi cerminan dari pemahaman mendalam tentang psikologi pemilih. Kontroversi gimmick yang dibawa oleh Gibran Rakabuming Raka dalam debat keempat Pilpres 2024 bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Di satu sisi, ada kecenderungan untuk mengkritik sikapnya yang dianggap kurang simpatik sebagai bentuk ketidakmampuan dalam menyampaikan substansi. Namun, di sisi lain, bisa jadi ini adalah langkah yang dihitung dengan matang, sebuah manuver yang sengaja dirancang untuk memenangkan narasi dan hati pemilih, terutama pemilih muda.
Generasi Muda dan Gimmick
Ada alasan kuat untuk mempertimbangkan bahwa pemilih muda, yang jumlahnya sangat besar, mungkin lebih cenderung menyukai presentasi yang ‘berbeda’. Generasi ini dibesarkan dalam era digital, di mana informasi disajikan tidak hanya melalui kata-kata, tapi juga melalui visual dan interaksi yang cepat. Mereka memiliki cara berpikir dan berinteraksi yang berbeda, yang mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda pula dalam politik. Dalam hal ini, gimmick bisa menjadi alat yang efektif untuk menarik perhatian mereka, lebih daripada paparan kebijakan yang panjang lebar dan kompleks.
Narasi Pasca Debat
Mungkin memang Gibran tidak “bermain” di panggung debat untuk menang dalam arti tradisional. Sebaliknya, mungkin dia telah menghitung bahwa pasca debat, tim kampanyenya dapat mengolah gimmick yang telah dilakukannya menjadi narasi yang kreatif dan menarik. Ini adalah era storytelling di mana cerita yang kuat dan menggugah bisa lebih berdampak daripada fakta dan angka yang kering.
Koneksi Emosional Melalui Gimmick
Pemilih modern, terutama pemilih muda, mencari koneksi emosional. Mereka ingin merasa terlibat dan dipahami oleh calon pemimpin mereka. Gimmick, bila digunakan dengan cermat dan ditunjang oleh strategi komunikasi yang kuat, bisa menjadi cara untuk menciptakan koneksi tersebut. Ini adalah cara untuk menyentuh hati sebelum mencoba untuk meyakinkan pikiran.
Risiko Gimmick Tanpa Substansi
Namun, ada risiko nyata di sini. Tanpa fondasi kebijakan yang solid dan substansi yang nyata, gimmick bisa dengan cepat berubah menjadi bumerang. Pemilih bisa merasa dipermainkan atau tidak dihargai, dan ini bisa mengikis kepercayaan pada proses demokrasi itu sendiri.
Refleksi : Keseimbangan Gimmick dan Substansi
Gimmick dalam politik bisa menjadi pedang bermata dua, tetapi tidak dapat diabaikan sebagai bagian dari strategi pemasaran dan branding politik yang cerdas. Dalam debat keempat Pilpres 2024, tindakan Gibran mungkin telah membuka mata kita pada kekuatan gimmick dalam politik era baru. Ini adalah pengingat bahwa dalam memenangkan hati dan pikiran pemilih, terutama generasi muda, kita harus menciptakan narasi yang menarik sekaligus menyajikan solusi yang konkret dan berkelanjutan.
Sebagai bangsa, kita harus menuntut agar setiap gimmick yang disajikan oleh calon pemimpin kita disertai dengan rencana dan solusi yang matang. Mari kita pilih pemimpin bukan hanya berdasarkan kemampuan mereka untuk menghibur, tetapi juga berdasarkan visi mereka untuk masa depan bangsa. Mari kita manfaatkan kekuatan suara kita untuk membentuk masa depan yang kita inginkan, suatu masa depan yang dibangun atas dasar substansi, bukan sekadar pertunjukan. Gasssss….!