Bellarmino Danang

Trending

Politik Persepsi: Mengelola Opini Publik dalam Era Informasi

Opini publik bukanlah sebuah entitas yang tercipta dalam isolasi. Pembentukannya adalah hasil sinergi antara aktor politik, media, dan masyarakat umum—masing-masing dengan kekuatan dan kelemahannya sendiri.

Di tengah arus informasi yang deras dan tak terbendung, opini publik telah bermetamorfosis dari sekadar penunjuk arah menjadi penggerak yang menentukan—sebuah kekuatan yang tak hanya memantulkan, tapi secara aktif membentuk realitas sosial dan politik kita. Di sinilah opini publik menjadi lebih dari sekadar arena pertarungan ide; ia menjadi medium prediktif yang menunjukkan ke mana arah demokrasi akan bergerak. Kita harus mengasah kemampuan analitis kita, memilah fakta dari fiksi, substansi dari hiperbola. Kita harus tajam dalam berpikir, cermat dalam memilih, agar tidak hanya sekadar mengerti tapi juga ikut membentuk masa depan demokrasi yang lebih terbuka dan berdasarkan pada informasi yang benar.

Pembentukan Opini Publik: Seni atau Ilmu?
Opini publik bukanlah sebuah entitas yang tercipta dalam isolasi. Ia adalah hasil dari interaksi kompleks antara informasi yang diolah, kepercayaan yang dipegang teguh, norma sosial yang dihormati, dan dinamika kekuasaan yang bermain di belakang layar. Pembentukannya adalah hasil sinergi antara aktor politik, media, dan masyarakat umum—masing-masing dengan kekuatan dan kelemahannya sendiri.

Dalam perspektif pemasaran politik, media bukan hanya menjadi saluran informasi, tetapi juga aktor yang dengan sengaja menentukan agenda. Media mampu mengarahkan sorotan kepada isu tertentu, menaikkan mereka ke puncak diskusi publik, dan turut serta menentukan prioritas opini massa. Opini publik, oleh karena itu, tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga membentuknya.”

Rasionalitas vs Persepsi Sosial: Benturan Dua Dunia
Dalam teori opini publik, kita mengenal dua dunia yang berbeda: dunia rasional dan dunia persepsi sosial. Di satu dunia, opini publik dilihat sebagai hasil kalkulasi logis individu, sementara di dunia lain, ia terbentuk dalam pusaran interaksi sosial. Kasus korupsi Wisma Atlet di era Andi Mallarangeng menunjukkan betapa keduanya dapat berperan dalam membentuk opini publik—di satu sisi berdasarkan fakta dan data, di sisi lain berdasarkan sentimen mayoritas.

Persepsi Sosial: Cermin atau Pembentuk Opini?
Cerita klasik tentang Raja yang gemar berganti baju dan penipu yang mengaku dapat membuat baju yang hanya bisa dilihat oleh orang yang pintar dan bijak, mencerminkan bagaimana persepsi sosial dapat membentuk opini publik. Dalam kisah ini, tak satu pun yang benar-benar melihat baju tersebut, namun karena takut dianggap bodoh dan tidak bijak, semua berpura-pura melihat dan memuji baju tersebut. Kisah ini mengilustrasikan bagaimana opini publik seringkali lebih dipengaruhi oleh persepsi daripada fakta objektif.

Presiden Jokowi sebutkan dua pasal dalam UU Pemilu yang memperbolehkan presiden berpihak dan ikut kampanye dalam Pemilu. (Dok.Biro Pers Sekretariat Presiden)

Contoh : Kontroversi “Presiden Boleh Berpihak”
Dalam era pemasaran politik modern, fenomena serupa terlihat saat isu “Presiden Boleh Berpihak dan Berkampanye” muncul, di mana misinformasi dan disinformasi bermain dalam menentukan sejauh mana opini publik dapat diarahkan atau disesatkan. Dalam beberapa kasus, pemimpin negara mungkin secara terbuka mendukung kandidat atau partai tertentu. Misinformasi dan disinformasi dapat berperan dalam menggambarkan presiden sebagai bias, melanggar hukum, tidak etik atau tidak adil, seringkali dengan menggunakan kutipan yang diambil dari konteks atau informasi yang sengaja disalahartikan, tidak lengkap bahkan mungkin dilebih-lebihkan. Hal ini dapat atau memang sengaja untuk mempengaruhi pandangan publik terhadap legitimasi proses pemilihan umum dan mempengaruhi pemilih.

Navigasi di Lautan Opini Publik
Opini publik, dengan segala kerumitannya, adalah sebuah entitas yang hidup dan berubah secara konstan. Memahaminya bukan hanya soal mengukur pandangan dan sikap, tetapi juga memahami cara pandang, harapan, dan kekhawatiran yang mendalam. Dalam demokrasi yang semakin tidak terduga, opini publik tidak lagi hanya suara mayoritas yang pasif. Ia adalah gelombang yang dapat mendorong kapal demokrasi kita ke pelabuhan yang kita tuju—sebuah masyarakat yang terinformasi, inklusif, dan benar-benar demokratis.

Navigasi yang bijak di lautan opini ini membutuhkan lebih dari sekedar menghindari badai misinformasi atau ombak populisme. Ia mengharuskan kita untuk memahami arus perubahan dan angin-angin tren sosial, agar kita dapat menuntun masyarakat kita ke arah yang lebih cerah dan beradab. Ini adalah tugas berat bagi para konsultan pemasaran dan branding politik—tapi juga merupakan panggilan untuk berkontribusi pada kesehatan dan kedewasaan demokrasi kita. Gassss…