Bellarmino Danang

Trending

BRANDING: Antara Citra, Fakta, dan Kenyataan Pahit di Pasar

Ketika Merek Terkenal Tidak Selalu Berarti Merek yang Dicintai

Dalam dunia bisnis, brand bukan hanya soal nama dan logo, tetapi tentang bagaimana publik melihat, merasakan, dan menilainya. Ada brand yang dikenal luas tetapi dibenci, ada yang memiliki penggemar setia tetapi sulit berkembang, dan ada pula brand yang jangkauannya besar tetapi kehilangan identitas.

Sebagai contoh nyata yang sering kita alami sehari-hari: McDonald’s dan Starbucks. Siapa yang tidak kenal kedua brand ini? Awareness mereka luar biasa tinggi, tetapi sentimen yang menyertainya bervariasi. McDonald’s dikenal sebagai pemimpin global dalam industri fast food, tetapi juga sering diserang karena isu kesehatan dan eksploitasi pekerja. Starbucks, dengan jangkauan globalnya, memiliki loyalitas pelanggan yang kuat, tetapi juga tak luput dari kritik karena harga yang mahal dan kebijakan perusahaan yang kontroversial.

Inilah yang disebut Brand Perception, perpaduan dari tiga faktor utama: Awareness, Reach, dan Sentiment.

Brand Perception: Perpaduan Awareness, Reach, dan Sentiment

Ketika Awareness Tinggi Tak Selalu Menguntungkan

Dalam branding, dikenal luas bukan jaminan kesuksesan. Kasus Kat Von D Beauty menjadi bukti nyata. Merek kosmetik ini memiliki awareness tinggi, tetapi setelah serangkaian kontroversi—mulai dari nama produk yang dinilai tidak etis, perseteruan dengan influencer, hingga dukungan terhadap gerakan anti-vaksin—sentimen negatif pun mendominasi. Akhirnya, Kat Von D harus mundur dan mereknya direbranding menjadi KVD Vegan Beauty. Ini membuktikan bahwa awareness saja tidak cukup jika brand gagal mengelola persepsi publik.

Jangkauan Luas, Tetapi Apakah Orang Masih Peduli?

Salah satu contoh menarik adalah Twitter yang berubah menjadi X. Elon Musk melakukan rebranding total dengan mengganti nama dan logo Twitter, tetapi tidak semua perubahan diterima positif. Jangkauan (reach) Twitter tetap luas, tetapi awareness terhadap “X” sebagai brand baru justru membingungkan pengguna. Bahkan, banyak yang tetap menyebutnya “Twitter”. Ini adalah kasus klasik di mana strategi rebranding tanpa perhitungan yang matang justru menimbulkan resistensi pasar.

Ketika Sentimen Publik Menentukan Nasib Brand

Contoh lainnya adalah Gojek dan Grab di Indonesia. Kedua brand ini memiliki awareness tinggi dan jangkauan luas, tetapi sentimen terhadap mereka berubah-ubah tergantung kebijakan yang mereka ambil. Saat Gojek masih startup dengan narasi perjuangan anak bangsa, sentimen publik sangat positif. Namun, ketika mulai ekspansi dan merger dengan Tokopedia, muncul kritik bahwa mereka telah kehilangan “jati diri”.

Sebaliknya, Grab yang awalnya dipandang sebagai pesaing asing justru berhasil membangun citra sebagai platform yang lebih stabil dan terorganisir.

Mengelola Persepsi: Tugas Utama Brand

Dari berbagai studi kasus di atas, ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil dalam branding:

  1. Awareness tanpa sentimen positif bisa berakibat fatal – Jika orang mengenal brand Anda tetapi membencinya, itu bukan aset, melainkan beban.
  2. Jangkauan luas tanpa identitas yang jelas bisa menyebabkan kebingungan – Seperti yang terjadi pada rebranding Twitter menjadi X.
  3. Brand yang sukses bukan hanya yang terkenal, tetapi yang mampu mengelola sentimen publik dengan cerdas – Seperti Starbucks yang selalu berhasil memanfaatkan tren dan membangun loyalitas pelanggan meskipun sering dikritik.

Kesimpulan: Brand Itu Bukan Sekadar Nama, Tetapi Bagaimana Ia Dikenang

Dalam dunia branding, nama hanyalah permulaan, tetapi bagaimana merek itu dipersepsikan oleh publik adalah pertarungan yang lebih besar. Brand yang hanya fokus pada meningkatkan awareness tanpa memperhatikan sentimen konsumen akan jatuh dalam jebakan popularitas semu.

Jadi, bagi Anda yang ingin membangun brand, tanyakan pada diri sendiri: Apakah Anda ingin dikenal luas, atau ingin dicintai?