Oleh : Hasto Wardoyo – Walikota Jogja
Ketika sebuah video tentang seorang publik figur merokok di Malioboro viral di media sosial, banyak orang bertanya: mengapa aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) belum benar-benar ditegakkan? Kenapa perokok masih leluasa mengepulkan asap di jantung kota budaya ini?
Saya tidak marah. Saya justru merenung. Karena di balik asap rokok itu, saya mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pelanggaran aturan. Saya mencium tantangan ideologis: bahwa pembangunan kota tidak cukup hanya dengan membuat peraturan, tetapi harus menanamkan kesadaran. Dan kesadaran itu tumbuh dari dalam manusia.

Yogyakarta adalah kota budaya. Tetapi budaya bukan sekadar pertunjukan wayang atau gamelan di panggung hotel. Budaya adalah perilaku hidup sehari-hari. Cara kita memperlakukan ruang publik adalah cermin dari kesadaran ideologis kita.
Saya percaya: membangun kota artinya membangun manusia. Jalan bersih dimulai dari pikiran yang bersih. Malioboro bebas rokok hanya akan terwujud bila warganya memaknai kebersihan bukan sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai bagian dari martabat diri.
Kita sudah terlalu lama memuja infrastruktur dan melupakan infrastruktur paling dasar: karakter manusia. Maka izinkan saya menyampaikan bahwa kota ini tidak akan berubah hanya dengan menambah CCTV, mendirikan plang larangan, atau menyebar aparat. Kota ini akan berubah jika manusianya mau berubah.
Dalam 100 hari kerja pertama saya, kami berfokus menjadikan Jogja lebih bersih. Tapi bersihnya bukan hanya dari sampah plastik, melainkan juga dari kebiasaan-kebiasaan yang merusak ruang publik – seperti merokok sembarangan, membuang sampah sembarangan, atau memperlakukan jalanan sebagai milik pribadi.
Saya ingin menjadikan Yogyakarta sebagai Center of Excellence dalam pembangunan manusia perkotaan. Kota ini akan menjadi rujukan karena manusianya punya keunggulan moral, etika, dan kesadaran publik. Ini bukan sekadar slogan. Ini jalan panjang yang kami tempuh lewat edukasi, penegakan bertahap, dan yang paling penting: doktrinasi nilai hidup.

Kami akan menyentuh sekolah-sekolah, komunitas digital, RT-RW, kelompok ibu-ibu PKK, komunitas motor, sampai pedagang angkringan. Kami tidak hanya menyampaikan aturan, tapi menanamkan ideologi baru: bahwa setiap warga adalah penjaga kota. Dan penjaga kota sejati bukan yang berseragam, tapi yang bersikap.
Saya tidak anti teknologi. Tapi saya tahu, teknologi hanya alat. Rohnya adalah manusia. Di sinilah tugas kami: membentuk manusia-manusia Yogyakarta yang sadar, bukan karena takut ditilang, tapi karena cinta pada kotanya.
Saya tahu perubahan tidak bisa instan. Reza Arap, selebritas digital, mungkin tidak tahu bahwa Malioboro adalah kawasan tanpa rokok. Tapi ketika ia diberitahu dan langsung mematikan rokoknya, itulah titik awal. Kita tidak butuh penghukuman massal, kita butuh pengingat kolektif.
Maka saya mengundang Anda semua, warga Jogja dan siapa pun yang mencintai kota ini: mari kita jaga Malioboro. Bukan karena takut sanksi, tapi karena kita percaya bahwa Jogja bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat untuk menata hidup.
- “Jogja ora cukup mung resik. Jogja kudu nduweni roh. Roh itu ya kita kabeh. Warga, wisatawan, pedagang, mahasiswa, tukang becak, kusir andong, semua adalah bagian dari roh kota ini. Dan selama roh itu menyala, saya percaya: Jogja akan tetap istimewa.” (Hasto Wardoyo)