Narasi Digital, Krisis Kepercayaan, dan Pertaruhan Reputasi Institusi
Oleh: RB. Danang Purwoko – Analis Media dan Pembelajar
Tragedi yang menimpa Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang tewas dalam kecelakaan di Jalan Palagan, Sleman, DIY, dengan pelaku pengemudi mobil BMW berinisial CPP — yang juga mahasiswa UGM — telah memantik gelombang solidaritas publik dalam skala luar biasa. Namun yang lebih mencengangkan dari tragedinya adalah bagaimana peristiwa ini melompat cepat ke pusat perhatian nasional melalui kekuatan media sosial, bukan lewat rilis institusi.
Tagar #JusticeForArgo bukan sekadar penanda digital. Ia menjelma menjadi simbol desakan keadilan, kekecewaan terhadap penegakan hukum, dan bahkan kanal ekspresi kolektif atas ketimpangan sosial yang selama ini terpendam.

Viralitas yang Bukan Sekadar Angka
Data yang saya ambil dari sebuah Dasboard Media monitoring dan media intelligence mencatat lebih dari 310 ribu penyebutan tagar ini dalam rentang waktu 7 hari, dengan puncaknya pada 27 Mei mencapai hampir 188 ribu mention dalam sehari—naik 322 persen dari hari sebelumnya. Di hari yang sama, reach tagar ini menembus 261 juta tayangan, dengan 3,7 juta interaksi aktif. Volume semasif ini sebanding dengan tayangan nasional media televisi saat prime time.
Namun lebih dari sekadar viral, lonjakan ini mencerminkan pergeseran pusat kendali narasi. Publik tak lagi menunggu klarifikasi dari lembaga. Mereka membentuk opini, menyusun argumen, bahkan menjalankan “tribunal moral” secara terbuka di linimasa. Ini adalah fenomena “krisis reputasi digital” yang dalam konteks media, lebih cepat menghancurkan kepercayaan publik ketimbang proses hukum yang tak kunjung jelas.

Narasi Emosional dan Visualisasi Ketidakadilan
Sentimen negatif mendominasi percakapan (36,3%). Unggahan dengan engagement tertinggi tak menampilkan data forensik, tapi justru testimoni personal: “keluarga saya termasuk golongan menengah ke bawah karena ayah saya sudah meninggal…”—unggahan ini meraih lebih dari 114 ribu interaksi. Narasi visual, mulai dari bunga duka di Fakultas Hukum UGM, video kenangan, hingga tangkapan layar ironi kelulusan, digunakan untuk membangun resonansi emosi dan menciptakan tekanan sosial.
Inilah cara media sosial bekerja: emosi adalah algoritma baru. Data yang tak komunikatif akan tenggelam oleh narasi yang menyentuh. Dalam kasus ini, narasi keadilan yang lamban, dipersepsikan sebagai keistimewaan kelas dan kekuasaan.

Ketika Institusi Kehilangan Panggung
Ilustrasi unggahan viral dalam isu #JusticeForArgo memperlihatkan bahwa persepsi publik dibangun secara organik melalui ekspresi personal, kritik sosial, dan satire yang diarahkan langsung pada pelaku, lingkaran sosialnya, hingga institusi terkait. Narasi-narasi seperti “teman pelaku harus diberi sanksi sosial” hingga “UGM lambat merespons” mengindikasikan bahwa publik bukan hanya menuntut keadilan hukum, tetapi juga akuntabilitas moral dan institusional. Dalam konteks ini, persepsi menjadi senjata tajam: ketika Kepolisian dan UGM tidak mampu bergerak secepat ekspektasi publik, mereka justru kehilangan kendali atas citra mereka sendiri. Kepercayaan terhadap institusi tidak ditentukan oleh proses hukum semata, melainkan oleh kepekaan terhadap dinamika opini yang bergulir cepat di ruang digital.


Kepolisian telah menetapkan CPP sebagai tersangka dan menyatakan proses hukum berjalan ilmiah dan transparan. Namun, dalam persepsi publik, hal itu datang terlambat. Lebih dari 21 ribu akun unik menyuarakan tuntutan keadilan, sebagian dengan kemarahan yang tajam.
Sementara Universitas Gadjah Mada—institusi kedua yang terdampak langsung—memilih jalur hati-hati dengan menyatakan masih memegang asas praduga tak bersalah. Namun di era media sosial, sikap diam atau netral bukan lagi dilihat sebagai kehati-hatian, melainkan sebagai pembiaran.
Dalam ekosistem digital, respons lambat bukan hanya kehilangan momentum, tapi juga kehilangan kepercayaan. Branding institusi hari ini dibentuk bukan oleh citra, tetapi oleh respons nyata terhadap krisis.

Reputasi, Etika, dan Legitimasi Sosial
Kasus ini menjadi pengingat bahwa reputasi institusi tak lagi ditentukan oleh jargon dan publikasi formal, melainkan oleh kemampuan membaca emosi publik, merespons dengan empati, dan menyampaikan transparansi secara komunikatif. Di tengah publik yang cerdas dan digital-native, institusi tak hanya diminta menjelaskan, tapi juga mewakili keadilan sosial.
Ketika publik merasa lebih percaya pada linimasa daripada lembaga hukum, itu bukan sekadar masalah komunikasi — itu adalah krisis legitimasi.
Apa yang Perlu Dilakukan? Respons Proaktif dan Bukan Reaktif. Keterlambatan dalam krisis digital adalah ruang kosong yang segera diisi oleh spekulasi dan narasi tandingan.
Gunakan Media Visual yang Relevan. Rilis berita tidak cukup. Publik membutuhkan bukti yang konkret dalam format yang bisa mereka pahami dan percayai.
Bangun Dialog, Bukan Sekadar Pernyataan. Institusi pendidikan, khususnya, dituntut bukan hanya untuk adil, tapi juga untuk terlihat berpihak pada nilai keadilan.
Tangkap Realitas Sosial. Dalam kasus ini, isu keadilan bercampur dengan sentimen ketimpangan sosial. Abaikan ini, maka institusi akan kehilangan empati publik.
Kasus #JusticeForArgo adalah miniatur dari dinamika keadilan di era digital. Ia menunjukkan bahwa publik kini menjadi aktor utama dalam membentuk, menyebarkan, dan menagih akuntabilitas. Ketika ruang sidang lamban, linimasa mengambil alih. Dan di sana, tidak ada ruang untuk narasi yang setengah hati.
Siapa yang menguasai narasi hari ini, dialah yang memegang kuasa atas persepsi besok.
Kesimpulan
Dari perspektif media, kasus #JusticeForArgo telah bergerak dari ruang pemberitaan ke ruang pengaruh. Narasi bukan lagi soal siapa yang benar menurut hukum, tetapi siapa yang mendapat kepercayaan publik. Dalam ekosistem digital hari ini, persepsi mendahului proses. Dan jika institusi tidak belajar mengelola persepsi, maka mereka akan selalu kalah dalam medan wacana.
Proyeksi ke depan: jika respons tidak progresif dan transparan, kasus ini akan tetap hidup di media sosial, bahkan ketika hukum telah selesai—karena luka kolektif publik tidak sembuh dengan diam.
Catatan:
Tulisan ini merefleksikan perspektif pribadi penulis berdasarkan data dan dinamika media. Penulis mendorong institusi terkait untuk menjadikan momen ini sebagai kesempatan memperkuat etika, transparansi, dan keberpihakan terhadap keadilan sosial.