Oleh: RB Danang Purwoko R
1. Persepsi Internasional terhadap Penanganan Kasus Juliana Marins: Framing, Emosi, dan Diskoneksi Diplomatik
Kasus Juliana Marins bukan sekadar tragedi pendakian. Ini adalah cermin telanjang dari bagaimana satu insiden lokal dapat meledak menjadi krisis persepsi global yang sistemik. Dengan dominasi 87% pemberitaan internasional dan lebih dari 386.000 mentions, kasus ini menjelma menjadi diplomatik standoff dan reputational disaster. Media seperti BBC, CNN, Reuters, dan NBC tidak hanya melaporkan, tapi membingkai narasi dengan cara yang menggiring opini publik internasional: “Indonesia tidak mampu menyelamatkan satu turis pun dalam empat hari.” Narasi ini menggugah emosi kolektif netizen Brasil, memperkuat rasa frustrasi dengan sentimen negatif mencapai rasio 8,3 banding 1.


Twitter menjadi medan utama “digital warfare,” dengan dominasi 95,2% dan akun @prabowo diserbu 11.300+ komentar. Emosi kesedihan (41,3%) dan kemarahan (27,9%) digunakan sebagai senjata framing. Hashtag seperti #SaveJuliana dan #JusticaParaJuliana menyebar lintas benua, menyusupi opini publik, dan mempersempit ruang diplomatik Indonesia.

Respons pemerintah Brasil sangat cepat dan simbolik. Presiden Lula langsung menelepon ayah Juliana dan Senator Romario mengusulkan “Lei Juliana Marins.” Sementara itu, Indonesia baru bereaksi setelah krisis reputasi ini telanjur mengakar, dengan pola komunikasi defensif dan miskin empati.

2. Dampak Pemberitaan Internasional terhadap Citra Keamanan Wisata dan Branding Pariwisata Indonesia
Mekanisme Pembentukan Persepsi Global melalui Media Internasional
- Agenda-Setting : Media internasional berhasil mengangkat isu keselamatan wisata Indonesia dari episodic event menjadi thematic concern yang menghubungkan incident dengan pola sistemik yang lebih luas.
- Framing Strategy : BBC, CNN, dan Reuters mengadopsi investigative journalism framework dengan fokus pada systematic failure analysis, dramatic storytelling, dan standardized framing yang mengamplifikasi criticism.
- Amplifikasi Global : Media Tier-1 seperti SCMP, The Independent, dan NYT mengaitkan kasus dengan pattern of accidents, diplomatic tension, dan menciptakan persepsi Indonesia sebagai destinasi yang beautiful but dangerous.
Penetrasi media internasional ke 48 negara dengan standar tier-1 seperti CNN dan The New York Times telah mentransformasi tragedi individual menjadi isu sistemik. Kasus ini menguatkan kembali kekhawatiran atas keselamatan wisata Indonesia, memperburuk citra dalam laporan-laporan travel advisory seperti dari AS, Inggris, Kanada, dan Australia.

Framing yang digunakan media global tidak lagi episodik, tetapi tematik. South China Morning Post mengaitkan kasus Juliana dengan pola kecelakaan sebelumnya: turis Malaysia Mei 2025, pendaki Rusia September 2024. Artinya, Indonesia dikonstruksi sebagai destinasi “berisiko tinggi”. Sementara itu, Reuters mendistribusikan narasi ini ke 200+ media lainnya, menciptakan gelombang framing yang sulit dilawan.

Dampaknya? Selain potensi revisi premi asuransi perjalanan dan persepsi risiko wisata petualangan, Indonesia juga berhadapan dengan trust deficit jangka panjang. Meskipun data World Economic Forum menunjukkan Indonesia naik ke peringkat 22 dalam Tourism Competitiveness Index, persepsi tetaplah king dalam dunia komunikasi. Kesalahan komunikasi krisis dalam kasus ini menciptakan jurang antara kinerja aktual dan persepsi global.

3. Strategi Komunikasi dan Branding: Momentum atau Malapetaka?

Kasus Juliana Marins harus dibaca sebagai “wake-up call” strategis. Dalam era media real-time, satu insiden bisa meluluhlantakkan upaya branding bertahun-tahun. Indonesia membutuhkan digital diplomacy yang tangguh, termasuk: – Sistem respons krisis multibahasa dan berbasis empati. – Proaktif dalam membangun narasi tandingan berbasis data dan bukti forensik (seperti hasil autopsi yang menyebut Juliana meninggal 20 menit setelah jatuh). – Kolaborasi strategis dengan media internasional dan travel influencer untuk memulihkan citra.

Indonesia juga perlu menata ulang brand positioning dalam sektor adventure tourism: dari sekadar jual pemandangan eksotis ke penyedia pengalaman aman, transparan, dan bertanggung jawab. Bila tidak, bukan hanya turis yang akan menghindar, tapi juga kepercayaan internasional terhadap kredibilitas Indonesia sebagai negara yang kompeten menangani warganya dan tamunya dalam krisis.
- Disclaimer: Tulisan ini disusun berdasarkan analisis data monitoring media dan strategi komunikasi, serta tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pihak mana pun. Tujuannya adalah memberikan insight kritis berbasis data agar pemerintah dan pemangku kepentingan dapat mengelola reputasi nasional dengan lebih taktis, adaptif, dan profesional.
Keyword: Juliana Marins, komunikasi krisis, persepsi global, pariwisata Indonesia, media internasional, branding negara, digital diplomacy, #SaveJuliana.