Bellarmino Danang

Trending

Tragedi Juliana Marins: Cermin Retaknya Komunikasi Krisis dan Kegagalan Digital Indonesia

Oleh: RB Danang Purwoko R

Tragedi yang menimpa Juliana Marins di Gunung Rinjani bukan sekadar insiden wisata biasa. Ini adalah cermin retaknya sistem komunikasi krisis Indonesia yang gagal menghadapi gelombang digital internasional. Data terbaru dari Talkwalker menunjukkan volume diskusi luar biasa tinggi: 443,3 ribu mentions dan total engagement hingga 9,2 juta dalam waktu seminggu saja. Bahkan rasio negatif terhadap positif mencapai angka mencengangkan 8,3:1, sebuah angka yang jauh melebihi standar natural dalam krisis komunikasi yang biasanya berkisar 3:1.

Lebih mengkhawatirkan lagi, analisis media mengindikasikan kuatnya koordinasi digital (astroturfing) yang mendorong percepatan narasi negatif secara sistemik. Dengan dominasi percakapan di platform Twitter mencapai 95,2%, isu ini telah berubah menjadi “digital warfare” yang melampaui kapasitas respons konvensional pemerintah Indonesia.

Data media monitoring terkait kasus Juliana Marins menunjukkan dominasi Twitter yang sangat kuat dalam membentuk opini publik. Sebanyak lebih dari 95% percakapan dan sentimen tentang kasus ini terkonsentrasi di Twitter, mengindikasikan efektifnya platform tersebut sebagai alat amplifikasi narasi digital.
Data media monitoring kasus Juliana Marins menunjukkan dominasi kuat percakapan dari Brasil sebesar 61,4%, dengan respons domestik Indonesia hanya 13%. Kondisi ini mengindikasikan asimetri informasi signifikan yang berdampak negatif pada citra Indonesia secara internasional.
86,6% percakapan digital terkait kasus Juliana Marins berasal dari luar Indonesia, dengan Brasil sebagai penyumbang terbesar. Penyebaran narasi di 48 negara memperlihatkan bagaimana isu lokal berubah menjadi krisis reputasi global.

Salah satu narasi yang paling mencolok adalah tuduhan “penelantaran” yang disuarakan secara viral oleh influencer internasional seperti @zellieimani, @selvagemdodia, @IndoPopBase, hingga @choquei. Narasi tersebut sukses menciptakan amplifikasi emosi negatif luar biasa, khususnya kesedihan (41,3%) dan kemarahan (27,9%). Ini bukan kebetulan, tetapi merupakan hasil rekayasa emosional yang canggih untuk memicu efek contagion dan mempertahankan memori publik secara negatif.

Kenyataan pahitnya, respons pemerintah Indonesia sangat terlambat dan minim empati. Pernyataan resmi baru muncul setelah 48 jam kejadian, sebuah durasi yang dalam era digital sama sekali tidak bisa ditoleransi. Pemerintah memilih jalur komunikasi teknokratis yang defensif, berfokus pada tantangan teknis dan geografis, bukannya memberikan pesan yang berempati kepada korban dan keluarganya.

Matrix ini menunjukkan bagaimana emosi negatif seperti kesedihan (41,3%) dan kemarahan (27,9%) mendominasi narasi digital terkait kasus Juliana Marins. Sebanyak 183,3 ribu mentions memanfaatkan kesedihan sebagai pendorong empati, sementara 123,5 ribu lainnya mengandalkan kemarahan untuk mobilisasi opini publik. Ini mengindikasikan penggunaan pola manipulasi psikologis yang sistematis untuk memperkuat persepsi krisis dan risiko.

Narasi heroisme lokal Agam Rinjani, yang tetap bersama jenazah Juliana sepanjang malam hingga proses evakuasi selesai, memang sempat memberikan sedikit defleksi positif. Namun, efeknya sangat terbatas mengingat volume kritik yang jauh lebih besar terkait isu struktural dan sistemik keselamatan wisata di Indonesia.

Temuan paling mengejutkan adalah hasil autopsi yang mengungkapkan Juliana meninggal dalam waktu 20 menit setelah jatuh. Ini seharusnya bisa menjadi senjata kuat untuk melawan narasi “empat hari penelantaran.” Sayangnya, informasi ini datang terlambat ketika persepsi publik internasional sudah terbentuk dan tertanam kuat melalui kampanye terkoordinasi secara digital.

Lebih jauh lagi, implikasi diplomatik kasus ini sangat nyata. Usulan “Lei Juliana Marins” dari Senator Romario di Brasil dan komunikasi langsung Presiden Brasil Lula dengan keluarga korban menegaskan bahwa kasus ini telah bergerak ke level diplomasi internasional yang tidak bisa lagi diabaikan Indonesia. Sikap defensif dan kegagalan dalam komunikasi empati pemerintah Indonesia berisiko memperburuk ketegangan bilateral yang sudah lama ada dengan Brasil.

Pelajaran utama dari tragedi Juliana Marins ini adalah bahwa Indonesia masih sangat rentan dalam menghadapi “digital warfare”. Satu insiden dapat dengan mudah berubah menjadi krisis reputasi global jika tidak ditangani dengan strategi komunikasi yang matang dan empati yang tulus.

  • Disclaimer: Analisa dalam artikel ini berbasis data dan dimaksudkan sebagai insight untuk perbaikan sistem komunikasi krisis Indonesia, bukan untuk menjatuhkan nama baik pihak manapun.