Bellarmino Danang

Trending

“Mengurai Kemenangan Prabowo-Gibran dan Kegagalan Ganjar-Mahfud Dari Perspektif Pemasaran”

Selebrasi Kemenangan Prabowo Gibran Kompak Memakai Kemeja Kotak-Kotak Biru

Dalam dinamika pemilu yang sering kali dipenuhi dengan judul-judul berita kontroversial dan debat panas, analisis sederhana ini mencoba menyediakan ruang diskusi dari lensa branding dan marketing politik—memotong melalui keriuhan dan tanpa terhanyut dalam narasi kecurangan.

Dari tulisan ini, saya mencoba berbagi versi pandangan saya tentang bagaimana Prabowo-Gibran memenangkan hati mayoritas, dan bagaimana Ganjar-Mahfud, meski bermaksud baik, gagal menyampaikan pesan mereka ke hati rakyat. Ini bukan hanya kisah tentang kemenangan dan kekalahan, melainkan tentang bagaimana narasi politik dibangun dan dipersepsikan oleh rakyat—sebuah perspektif yang sering terabaikan namun krusial dalam memahami hasil pemilu 2024.

Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dalam HASIL HITUNG SUARA PEMILU PRESIDEN & WAKIL PRESIDEN RI 2024 per-pukul 21.00 (19/2/2024) WIB yang diambil dari halaman resmi pemilu2024.kpu.go.id, dengan meraih 58,61 persen suara. Kemenangan mutlak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di pemilu presiden 2024 tidak terlepas dari keberhasilan mereka mengelola citra politik yang berkaitan erat dengan legacy Jokowi.

Dari information quick count yang dirilis oleh berbagai lembaga survei, suara rakyat tampaknya menggemakan preferensi yang jelas: kelanjutan agenda pembangunan yang telah dipijakkan oleh Jokowi. Sebagaimana dirilis oleh Litbang Kompas, 62,6% responden yang puas dengan pemerintahan Jokowi cenderung memilih Prabowo-Gibran, suatu indikasi bahwa branding politik yang efektif dan strategi pemasaran yang resonan dengan aspirasi pemilih menjadi kunci kemenangan mereka.

Sementara itu, Ganjar Mahfud, yang dianggap banyak kalangan sebagai simbol perlawanan terhadap kecurangan, tampak gagal mempertahankan momentum. Penurunan elektoral mereka mungkin mengindikasikan kurangnya resonansi dengan kebutuhan pemilih dan kegagalan dalam membangun narasi yang menarik. Kekecewaan di media sosial, khususnya di kalangan kelas menengah terdidik, mencerminkan kesenjangan antara harapan perubahan dan realitas politik yang dipilih oleh mayoritas pemilih.

Data demografis diatas menggambarkan gambaran yang jelas: keberhasilan Prabowo Gibran ini berakar pada kemampuan mereka untuk menarik hati berbagai segmen masyarakat—dari kaum milenial yang giat bermedia sosial hingga pemilih dengan pendidikan tinggi yang mendambakan stabilitas politik dan ekonomi. Mereka mengibarkan bendera yang menggema keberlanjutan, mengemasnya dengan visi yang modern, dan menjangkau secara langsung ke dalam hati rakyat. Dengan kata lain, Prabowo-Gibran tidak hanya menjual janji politik, mereka menjual sebuah pengalaman—sebuah resonansi emosional yang mendalam dengan pemilih.

Di lain pihak, kegagalan Ganjar-Mahfud memberikan kontras yang tajam. Mereka tampaknya tersandung dalam labirin demografis, tidak mampu memanfaatkan potensi yang ada atau mungkin kehilangan arah dalam mengkomunikasikan pesan mereka. Dalam pertempuran branding, mereka ditinggalkan oleh pemilih yang mencari pesan yang lebih jelas dan definisi yang lebih tegas tentang masa depan mereka. Seolah-olah berlayar tanpa kompas, penuh kegalauan, kampanye mereka tidak mampu mengarungi samudra elektoral yang penuh tantangan, dengan arus kuat dari aspirasi rakyat yang menghendaki lebih dari sekadar janji politik—mereka tidak discukup disuguhkan dengan berbagai kritik, serangan-serangan bertubi-tubi bersentimen negatif ke pasangan lain, melainkan menginginkan visi yang nyata dan terukur.

Bayangkan, dari 204.807.222 orang yang memiliki hak pilih, 55% atau sekitar 114 juta di antaranya adalah suara Gen Z dan milenial. Dalam Pilpres 2024, Prabowo-Gibran terlihat menarik perhatian pemilih muda, melalui pendekatan branding yang strategis dan visual yang resonan dengan aspirasi generasi tersebut. Penggunaan warna biru muda oleh Prabowo-Gibran dapat diinterpretasikan sebagai upaya menyasar pemilih muda dengan simbolisme yang sering dikaitkan dengan kebaruan, teknologi, dan masa depan yang cerah. Warna biru muda juga mengingatkan pada keterbukaan langit dan lautan, yang dapat diasosiasikan dengan pandangan yang luas dan inklusif terhadap keberagaman pemilih muda.

Tagline “Keberlanjutan” yang diusung oleh Prabowo-Gibran menyuarakan janji untuk melanjutkan dan meningkatkan pencapaian-pencapaian positif dari pemerintahan Jokowi sebelumnya, yang dipersepsikan membawa dampak nyata dan stabilisasi ekonomi serta pembangunan infrastruktur. Ini mencerminkan keinginan pemilih muda akan stabilitas dan kemajuan berkelanjutan tanpa mengabaikan inovasi dan pertumbuhan.

Unsur-unsur seperti “Gemoy,” yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang menggemaskan atau menarik, serta “Belimbing Sayur” dan “Samsul,” jika dikaitkan dengan karakter-karakter atau meme dalam budaya pop yang populer di kalangan pemuda, dimanfaatkan Gibran untuk mengkomunikasikan pesan dalam cara yang lebih santai dan mudah dicerna. Gibran Rakabuming merespons julukan belimbing sayur dan Samsul yang kerap ditujukan para buzzer di media sosial untuknya dengan sangat cerdas dan kreatif. Ini menciptakan kesan bahwa Prabowo-Gibran tidak hanya serius dalam visi politiknya, tetapi juga bisa relevan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari pemilih muda, serta mampu berkomunikasi dalam bahasa yang mereka pahami.

Disebut Gimmick Tidak Sehat, TKN Klaim ‘Gemoy’ Prabowo adalah Anugerah

Sementara itu, Anies Imin dengan baju warna putih dan tagline “Perubahan” mungkin berupaya menarik pemilih yang menginginkan reformasi atau pergeseran dari status quo. Warna putih sering dikaitkan dengan kesederhanaan, kemurnian, dan awal yang baru, yang bisa menarik bagi pemilih yang menginginkan pendekatan politik yang bersih dan tidak terkontaminasi oleh politik lama.

Di sisi lain, Ganjar Mahfud tampak “galau” dengan beberapa konsep brandingnya. Mulai dari konteks hukum, Salam Tiga Jari hingga slogannya “Sat set tas tes” dan warna hitam putih mungkin ingin mengkomunikasikan pesan kesederhanaan, kejelasan, dan keseimbangan. Namun, tanpa konteks yang lebih dalam, kombinasi ini mungkin tampak terlalu abstrak atau kurang menarik dan membingungkan bagi pemilih muda yang cenderung mencari pesan yang lebih nyata dan terdefinisi dengan baik dalam konteks sosial dan ekonomi mereka.

Video Cak Imin slepet keras Anies Baswedan. (X/@aniesbaswedan)

Hal ini, tampak bahwa keberhasilan Prabowo-Gibran dalam menarik pemilih muda bukan hanya berdasarkan citra positif dan konsistensi, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan menghubungkan nilai-nilai politik dengan kehidupan sehari-hari dan aspirasi pemilih muda, yang merupakan kunci untuk memenangkan hati dan pikiran mereka. Termasuk bagaimana sebutan hingga ejekan dari buzzer diamplifikasi dan diresonansikan sebagai kekuatan baru branding pasangan Prabowo Gibran.

Peran “Silent Majority” dalam kemenangan Prabowo-Gibran mengungkapkan pentingnya strategi komunikasi yang mendengarkan dan memahami mayoritas pemilih yang tidak vokal. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kemenangan ini bukan hanya hasil dari suara mayoritas yang bisu dalam debat publik, tetapi juga karena pendekatan kampanye Prabowo-Gibran yang lebih inklusif dan tidak polarisatif. Mereka berhasil menyentuh hati pemilih dengan menawarkan solusi nyata atas masalah yang dirasakan oleh masyarakat, bukan melalui retorika yang memecah belah atau mengejar popularitas sesaat. “Silent Majority”, yang terdiri dari orang-orang grass-root yang tidak banyak mewarnai perdebatan publik, menjadi pemilih aktif yang benar-benar datang ke TPS untuk menyuarakan aspirasinya. Kehadiran mereka yang massif di TPS menjadi penyebab mendulangnya angka bagi paslon 02.

Kemenangan ini juga menandakan pergeseran dalam pemahaman politik, di mana pemilih kini lebih cenderung mendukung kandidat yang menawarkan stabilitas, kebijakan yang pragmatis, dan kemampuan untuk merespons kebutuhan masyarakat secara efektif. Prabowo-Gibran memanfaatkan ini dengan membangun narasi yang menekankan pada kebijakan yang inklusif dan pembangunan yang berkelanjutan, menjangkau pemilih melalui kanal komunikasi yang beragam, dan memperlihatkan empati serta komitmen nyata untuk memajukan bangsa.

Fenomena “Silent Majority” juga semakin membesar karena politik kontemporer yang dilakukan oleh paslon 02 dengan menggunakan selebgram dan influencer yang mampu menggerakkan anak muda dalam menikmati politik seolah-olah itu bagian dari hal yang menghibur. Pendekatan ini menciptakan persepsi bahwa politik bukan hanya arena perdebatan yang kering dan serius, tetapi juga bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang menyenangkan. Dengan memanfaatkan platform digital dan media sosial, paslon 02 berhasil menyusup ke dalam rutinitas harian pemilih muda, mengubah cara mereka melihat dan berinteraksi dengan politik menjadi lebih mudah dan akrab.

“Kemenangan Prabowo-Gibran membuktikan bahwa narasi kegelisahan akan mundurnya demokrasi hanyalah suara dari kelompok menengah kritis dan segelintir elit saja.

Kemenangan yang merata di seluruh kategori masyarakat, seperti terungkap oleh litbang Kompas, menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tidak hanya membutuhkan narasi, melainkan bukti dan fakta konkret. Kekalahan Ganjar-Mahfud menegaskan bahwa opini saja tidak cukup; kemenangan memerlukan pemahaman dan dukungan yang luas dari berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya dari kelompok tertentu.”

Kemenangan Prabowo-Gibran menunjukkan pentingnya memahami dinamika “Silent Majority”  dan menggunakan strategi komunikasi yang efektif untuk merangkul dan menggerakkan segmen pemilih ini, sementara Noise Minority yang lebih elitis dan rasional terlihat gagal menyentuh kepentingan dan harapan masyarakat grass-root yang luas.

Pemilihan umum 2024 menggarisbawahi pengaruh substansial dari ‘Jokowi Effect’ dalam memandu pilihan pemilih, yang tercermin dalam kemenangan mutlak Prabowo-Gibran. Penelitian dari berbagai lembaga survei, termasuk LSI dan Poltracking Indonesia, menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi—yang mencapai puncaknya pada angka 83n 79,5% secara berturut-turut—berkontribusi besar pada hasil pemilu. Sejalan dengan ini, 47,4% responden yang puas dengan pemerintahan Jokowi memilih pasangan Prabowo-Gibran, menurut Poltracking Indonesia, menandakan sebuah preferensi kuat untuk kontinuitas kepemimpinan yang telah membawa hasil nyata.

Pada saat yang sama, tantangan yang dihadapi Ganjar-Mahfud tampaknya berasal dari kurangnya kemampuan untuk membangun naratif yang meyakinkan yang bisa meresonansi dengan harapan pemilih dan mengkomodasi ketidakpuasan yang ada. Faktanya, meskipun ada penegakkan hukum yang dinilai memburuk oleh 7,7% responden dalam survei LSI, kepercayaan yang kuat pada kemampuan Prabowo-Gibran untuk membawa reformasi dan keberlanjutan pembangunan telah menegaskan kembali kepercayaan pada narasi politik mereka yang otentik dan konsisten.

Sementara itu, data survey dari Poltracking Indonesia mengungkap bahwa dari 17,6% yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi, 44,6% memilih Anies Imin (Paslon 01) yang mewakili perubahan, namun gagal mencapai mayoritas. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pemasaran politik, tidak hanya kepuasan terhadap pemerintahan saat ini yang penting, tetapi juga kemampuan kandidat untuk merumuskan dan menyampaikan sebuah visi yang menarik dan dapat diwujudkan.

Kita dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan sebuah kampanye tidak hanya bergantung pada kekuatan pesan yang disampaikan, tetapi juga pada kejelasan identitas brand. Branding yang “galau” atau tidak konsisten akan membingungkan audiens dan mengurangi efektivitas kampanye. Di sisi lain, diferensiasi yang kuat dan otentik membantu memposisikan brand dalam benak konsumen dengan jelas, memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan. Oleh karena itu, penting bagi para pemasar politik untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini untuk mencapai hasil yang optimal. Perlu diingat bahwa kesimpulan ini bersifat subjektif dan merupakan hasil refleksi pribadi dalam konteks pembelajaran, bukan sebagai pernyataan absolut yang berlaku umum.

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi sebagai refleksi pembelajar di Program SBM ITB Bandung vs Kuncie, khususnya dalam topik Political Marketing, dan tidak mencerminkan pandangan resmi dari institusi tersebut.