Keputusan Branding: Sentimen atau Strategi?
Dalam sebuah obrolan santai, seorang sahabat yang ingin membangun bisnis perawatan pria bertanya kepada saya, “Bagaimana kalau saya pakai nama anak saya sebagai brand?” Pertanyaan sederhana ini membawa saya ke dalam perenungan mendalam tentang branding—sebuah aspek bisnis yang jauh lebih kompleks dari sekadar pemilihan nama.
Menggunakan nama anak untuk merek produk memang terdengar personal, penuh makna, dan emosional. Namun, apakah ini keputusan yang strategis? Atau justru akan menjadi penghambat pertumbuhan merek di masa depan? Untuk menjawabnya, kita perlu melihatnya dari perspektif branding, pemasaran, dan perilaku konsumen.
Branding Lebih dari Sekadar Nama
Brand bukan hanya tentang identitas, tetapi juga tentang bagaimana konsumen memandang, mengingat, dan menghubungkan produk dengan pengalaman mereka. Dalam dunia yang kompetitif, sebuah nama harus memiliki daya tarik kuat dan membangun citra yang relevan dengan pasar.
Menurut penelitian dari Lu, Zhou, Yu, dan Soykoth (2022) dalam jurnal akademik “The Effect of Fancy Brand Names on Brand Perception and Brand Attitude of Young Consumers”, nama merek yang sugestif dan unik lebih efektif membangun kesan dibandingkan nama yang terlalu generik atau personal. Dengan kata lain, branding yang sukses bukan sekadar nama, tetapi bagaimana nama itu menciptakan makna bagi pasar yang lebih luas.
USING ONE WORD TO DESCRIBE FANCY-NAME PRODUCT IN YOUR MIND

Untuk memahami lebih jauh, mari kita lihat dua studi kasus: suksesnya merek berbasis nama pribadi dan risiko yang dihadapi ketika menggunakan nama pribadi tanpa strategi yang matang.
BACA JUGA : BRAND VS PERSEPSI: KETIKA NAMA BUKAN LAGI SEKADAR IDENTITAS
STUDI KASUS 1:
Keberhasilan Brand Berbasis Nama Pribadi – Beberapa merek besar telah sukses menggunakan nama pendirinya, seperti Tom Ford, Hugo Boss, atau Paul Mitchell dalam industri fesyen dan perawatan. Kesuksesan mereka tidak datang begitu saja—ada faktor fundamental yang membuat nama-nama tersebut berhasil:
Reputasi yang Dibangun Sebelumnya – Tom Ford sudah dikenal sebagai desainer sebelum meluncurkan mereknya sendiri. Hugo Boss telah menjadi ikon dalam dunia fesyen pria. Keahlian dan kredibilitas mereka lebih dulu dibangun sebelum digunakan sebagai nama merek.
Eksklusivitas dan Personal Branding yang Kuat – Nama mereka sudah memiliki asosiasi dengan kualitas, inovasi, dan prestise, sehingga ketika digunakan sebagai merek, konsumen langsung memahami narasi yang ada di baliknya.
Merek Menjadi Warisan Personal – Penggunaan nama pribadi bisa menjadi nilai tambah jika dikomunikasikan dengan baik, menciptakan kesan keaslian dan otoritas dalam kategori produknya.

STUDI KASUS 2:
Risiko dan Tantangan Menggunakan Nama Pribadi – Di sisi lain, ada banyak contoh di mana penggunaan nama pribadi justru menjadi bumerang. Salah satu yang menarik adalah kasus beberapa merek kosmetik yang menggunakan nama pendirinya tetapi gagal membangun kredibilitas di mata konsumen. Nama pribadi yang tidak dikenal secara luas membuat brand kehilangan daya tarik awal dan kesulitan membangun citra yang meyakinkan.
Kasus nyata dari kegagalan ini adalah Trump Steaks—merek daging premium milik Donald Trump yang gagal total karena tidak memiliki relevansi dengan kredibilitasnya di industri makanan. Begitu pula Ivanka Trump Fashion Brand, yang mengalami kemunduran besar akibat sentimen politik terhadap sang pemilik. Di industri kecantikan, Kat Von D Beauty juga harus bertransformasi menjadi KVD Beauty setelah sang pendiri terlibat berbagai kontroversi yang mempengaruhi citra mereknya.

Selain itu, ada risiko jika suatu saat pemilik atau individu yang namanya digunakan memiliki citra negatif. Merek yang sudah tertanam dalam benak konsumen bisa terkena dampaknya. Beberapa selebriti yang terpaksa mengubah atau menutup mereknya akibat skandal atau kontroversi menunjukkan betapa berisikonya branding berbasis nama pribadi.

BACA JUGA : BRANDING: Antara Citra, Fakta, dan Kenyataan Pahit di Pasar
Nama Merek: Fancy atau Generic?
Dalam dunia pemasaran, ada dua tipe nama merek: fancy brand names (nama unik dan menarik) dan generic brand names (nama yang deskriptif atau biasa saja). Menurut penelitian dalam jurnal yang saya telaah:
Fancy brand names, seperti Nike, Axe, atau Old Spice, memiliki daya tarik emosional yang lebih kuat karena membangun asosiasi dengan gaya hidup dan identitas tertentu.
Generic brand names, seperti “Men’s Skincare by [Nama Anak]”, lebih sulit membangun daya tarik pasar karena terdengar biasa saja dan tidak memberikan pengalaman emosional bagi konsumen.
Berdasarkan riset ini, merek dengan nama kreatif lebih disukai oleh generasi muda dibandingkan nama yang terlalu personal atau generik.
Menjawab Pertanyaan Sahabat Saya: Haruskah Nama Anak Digunakan? Dari perspektif branding, menggunakan nama anak sebagai merek memang memiliki nilai sentimental, tetapi dari sudut pandang pemasaran, ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan:
Apakah Nama Itu Memiliki Resonansi dengan Pasar?
Jika nama anak memiliki daya tarik unik, mudah diingat, atau memiliki makna yang kuat, maka ini bisa menjadi keunggulan. Jika tidak, mungkin lebih baik memilih nama lain yang lebih strategis.
Branding adalah tentang membangun warisan. Jika suatu saat produk berkembang menjadi merek besar, apakah nama tersebut masih akan relevan?

Model ini menunjukkan bahwa membangun merek yang kuat membutuhkan proses bertahap, dimulai dari kesadaran merek hingga menciptakan keterikatan emosional dan loyalitas pelanggan.
Merek yang mencapai resonansi memiliki pelanggan yang setia, terlibat secara aktif, dan merasa memiliki hubungan yang mendalam dengan merek tersebut.
Apakah Nama Itu Bisa Bersaing dengan Kompetitor?
Dalam kategori produk perawatan pria, kompetitor seperti Axe, Nivea Men, dan L’Oreal Men Expert sudah memiliki positioning kuat. Nama merek harus mampu mencerminkan kekuatan dan karakter produk agar bisa bersaing.
KESIMPULAN : Branding Adalah Keputusan Strategis, Bukan Emosional
Sebagai refleksi dari obrolan saya dengan sahabat saya, saya menyadari bahwa dalam branding, kita sering terjebak dalam romantisme dan sentimentalitas. Namun, branding sejatinya adalah keputusan strategis, bukan emosional.
Menggunakan nama anak sebagai merek mungkin terasa istimewa, tetapi jika ingin membangun merek yang kompetitif, maka faktor lain seperti daya tarik, relevansi, dan potensi pertumbuhan merek dalam jangka panjang harus menjadi pertimbangan utama.
Jurnal yang saya bahas menunjukkan bahwa fancy brand names memiliki daya tarik lebih besar, terutama bagi generasi muda. Oleh karena itu, jika ingin menciptakan brand perawatan pria yang sukses, sebaiknya pikirkan nama yang tidak hanya bermakna bagi Anda, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menarik perhatian konsumen dan memenangkan pasar.
Karena pada akhirnya, brand bukan hanya tentang nama, tetapi tentang bagaimana nama itu menciptakan makna dan membangun cerita yang bertahan di benak konsumen.
Penulis: RB Danang Purwoko
Pembelajar Branding dan Strategi Pemasaran