Bellarmino Danang

Trending

Analisis Kampanye Luar Ruang SINGGIH RAHARJO: Strategi Branding, Komunikasi Visual, dan Pengaruh Linguistik

Baliho Singgih Raharjo terlihat di salah satu sudut persimpangan jalan di kawasan Mall Galeria kota Yogyakarta

Oleh : RB Danang Purwoko Raharjo

Dalam beberapa minggu terakhir, Kota Yogyakarta telah diramaikan oleh materi kampanye luar ruang yang mempromosikan Singgih Raharjo sebagai calon Walikota atau Wakil Walikota. Dua materi utama yang menarik perhatian adalah baliho dan spanduk besar yang terpasang di beberapa titik strategis kota. Dengan slogan “Seyogyanya Singgih Saja,” kampanye ini mencoba memposisikan Singgih sebagai kandidat yang paling layak dan tepat untuk memimpin Yogyakarta. Namun, di balik kampanye ini, ada beberapa elemen yang patut untuk dianalisis lebih lanjut dari sudut pandang pemasaran politik dan branding.

1. Pemilihan Kata “Seyogyanya”: Antara Kesalahan atau Inovasi Linguistik?

Salah satu aspek yang paling menarik dari kampanye ini adalah penggunaan kata “seyogyanya,” yang sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bentuk yang benar adalah “seyogianya,” yang berarti “sepatutnya” atau “selayaknya.” Pilihan ini mungkin terkesan sebagai kesalahan linguistik, tetapi dalam konteks kampanye politik, hal ini bisa dimaknai berbeda.

Penggunaan kata yang tidak baku dalam slogan politik bisa jadi merupakan strategi untuk menonjolkan slogan tersebut agar lebih mudah diingat dan menciptakan kesan unik. Di Yogyakarta, di mana bahasa gaul seperti bahasa Walikan atau prokem menjadi bagian dari budaya lokal, penggunaan kata “seyogyanya” mungkin dimaksudkan untuk menciptakan kedekatan dengan masyarakat. Kata-kata yang tidak baku, tetapi sudah umum digunakan dalam percakapan sehari-hari, bisa mencerminkan bahwa kandidat memahami dan berhubungan dengan realitas sosial masyarakat yang dilayaninya.

“Menggunakan kata yang tidak baku dalam slogan politik adalah pedang bermata dua; ia bisa menciptakan kesan unik dan dekat dengan masyarakat, namun juga bisa dianggap sebagai kecerobohan yang merusak kredibilitas.”

Namun, ada risiko yang melekat pada strategi ini. Di satu sisi, penggunaan kata yang tidak baku dapat menarik perhatian dan menciptakan percakapan di kalangan masyarakat, sehingga memperkuat ingatan terhadap slogan tersebut. Di sisi lain, ini bisa dianggap sebagai tanda kurangnya perhatian terhadap detail atau bahkan ketidakseriusan oleh pemilih yang lebih peduli pada penggunaan bahasa yang benar dan formal. Dalam pemasaran politik, detail semacam ini sangat penting karena setiap elemen kampanye dapat mempengaruhi persepsi pemilih secara signifikan.

2. Visual dan Desain: Antara Profesionalisme dan Aksesibilitas

Desain visual yang digunakan dalam baliho dan spanduk Singgih Raharjo menampilkan dua sisi yang berbeda dari kandidat. Pada baliho, Singgih ditampilkan dengan pakaian formal dan senyuman yang ramah, menciptakan citra seorang pemimpin yang profesional dan approachable. Kontras antara warna hitam dan kuning pada teks memberikan kesan kuat dan memastikan bahwa pesan “Seyogyanya Singgih Saja” mudah terbaca dan diingat.

Di sisi lain, spanduk menggunakan gambar Singgih dalam pakaian tradisional, yang lebih santai dan bersifat lokal. Ini menciptakan kesan bahwa Singgih bukan hanya seorang birokrat, tetapi juga seseorang yang memahami dan menghargai budaya serta tradisi lokal Yogyakarta. Strategi ini berusaha menyeimbangkan antara kesan formal yang dibutuhkan seorang pemimpin dan kedekatan dengan budaya lokal yang diharapkan oleh masyarakat Yogyakarta.

“Konsistensi dalam branding adalah kunci; perbedaan yang terlalu mencolok antara kesan formal dan santai dapat membingungkan pemilih dan mengaburkan citra kandidat yang ingin dibangun.”

Spanduk Baliho Singgih Raharjo terpasang di beberapa sudut kota di Kota Yogyakarta

Namun, penting untuk mempertimbangkan konsistensi dalam branding. Perbedaan yang terlalu mencolok antara kesan formal di baliho dan kesan santai di spanduk dapat membingungkan pemilih dan merusak citra kandidat. Konsistensi dalam desain dan pesan sangat penting untuk memastikan bahwa citra yang ingin dibangun tetap jelas dan terarah.

3. Penggunaan Dukungan Komunitas: Kredibilitas atau Gimmick?

Mengklaim dukungan dari “Komunitas Pelaku Wisata Kota Yogyakarta” adalah strategi yang cerdik dalam upaya meningkatkan kredibilitas kampanye. Dalam politik, asosiasi dengan kelompok atau komunitas tertentu dapat memberikan kesan bahwa kandidat memiliki dukungan nyata dari masyarakat, yang dapat meningkatkan kepercayaan publik.

“Dalam politik, transparansi adalah segalanya; dukungan yang tidak otentik bukan hanya merusak reputasi kandidat, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat secara keseluruhan.”

Namun, seperti halnya dengan aspek lain dalam kampanye, transparansi dan kejujuran sangat penting. Jika dukungan ini terbukti hanya bersifat simbolis atau tidak didukung oleh fakta di lapangan, hal ini dapat merusak reputasi kandidat dan menurunkan kepercayaan masyarakat. Dukungan yang tidak otentik dapat dilihat sebagai manipulasi politik, yang dalam jangka panjang akan lebih merugikan daripada menguntungkan.

TAHAPAN PEMBENTUKAN BRAND

4. Resonansi Merek dan Risiko Hubungan Emosional dengan Pemilih

Strategi branding dan pemasaran politik yang diterapkan oleh Singgih Raharjo, jika dilihat dari perspektif diagram “Tahapan Pembentukan Brand dalam Produk Komersial yang Telah Diadaptasi untuk Pemasaran Politik,” tampaknya menyasar pembentukan resonansi merek yang kuat dengan pemilih. Dalam tahap “Brand Salience,” Singgih berhasil menciptakan kesadaran merek yang mendalam melalui pemasangan baliho dan spanduk yang tersebar di lokasi strategis. Penggunaan slogan yang provokatif seperti “Seyogyanya Singgih Saja” bertujuan untuk meningkatkan pengenalan dan ingatan terhadap namanya, bahkan jika kata “seyogyanya” tidak baku menurut KBBI, yang mungkin merupakan upaya sadar untuk menambah daya tarik dan menciptakan buzz di kalangan pemilih.

Tahapan Pembentukan Brand Dalam Produk Komersial Yang Telah Diadaptasi Untuk Pemasaran dan Branding Politik

Namun, tantangan yang dihadapi Singgih adalah bagaimana membangun “Brand Performance” dan “Brand Imagery” yang kuat dan konsisten. Kedua elemen ini penting untuk memastikan bahwa citra yang dibentuk dari berbagai materi kampanye tetap selaras dan menciptakan asosiasi positif yang kuat. Inkonsistensi dalam visual—misalnya, perbedaan antara citra formal di baliho dan kesan lebih santai di spanduk—bisa merusak kohesi merek dan membingungkan pemilih mengenai identitas politik yang ingin disampaikan.

Akhirnya, tahapan “Brand Resonance” yang mencakup hubungan emosional dengan pemilih, bergantung pada sejauh mana respon pemilih (Consumer Judgement dan Consumer Feeling) terhadap kampanye ini positif dan dapat diakses. Kampanye ini tampaknya mencoba menjangkau secara emosional dengan klaim dukungan dari Komunitas Pelaku Wisata, tetapi risikonya adalah bahwa kesalahan linguistik dan inkonsistensi visual dapat mengurangi efektivitas keseluruhan strategi branding, berpotensi merusak hubungan jangka panjang dengan pemilih.

5. Analisis Keseluruhan: Efektivitas Kampanye

Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan bahwa kampanye luar ruang Singgih Raharjo berhasil menciptakan kesadaran dan resonansi merek yang kuat melalui strategi yang inovatif, namun tidak tanpa risiko. Saya mengidentifikasi penggunaan kata “seyogyanya” sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah langkah inovatif yang mungkin menciptakan kedekatan dengan masyarakat lokal yang akrab dengan bahasa tidak baku dalam percakapan sehari-hari. Namun, saya menyoroti risiko yang muncul, yaitu potensi kerusakan kredibilitas kandidat di mata pemilih yang lebih konservatif atau berpendidikan tinggi, yang mungkin melihat penggunaan kata yang tidak baku sebagai tanda ketidakseriusan atau kurangnya perhatian terhadap detail.

Selain itu, pentingnya konsistensi dalam branding, di mana perbedaan yang terlalu mencolok antara kesan formal di baliho dan kesan lebih santai di spanduk bisa merusak kohesi merek. Ini adalah observasi yang sangat penting dalam pemasaran politik, di mana citra yang konsisten dapat membantu memperkuat pesan utama kampanye.

Terakhir, klaim dukungan dari komunitas perlu dipastikan keasliannya agar tidak merusak kepercayaan publik terhadap kandidat. Secara keseluruhan, meskipun kampanye ini memiliki elemen-elemen yang kuat, ada beberapa area yang memerlukan perhatian lebih untuk menghindari dampak negatif pada persepsi publik.

  • Sebagai catatan tambahan, sebagai pembelajar analisa ini merupakan opini saya pribadi dan tidak memiliki tendensi atau dukungan politik terhadap kandidat tertentu. Semua pandangan yang disampaikan bertujuan untuk memberikan wawasan yang objektif dan mendalam tentang strategi branding dan pemasaran politik. Untuk pemahaman lebih mendalam tentang identitas visual yang efektif dalam kampanye politik.